Integral Sains dan Agama?

Sains, mau tidak mau, harus kembali berdamai dengan agama, seni, dan filosofi, kemudian meninggalkan posisinya sebagai menara gading. Sebelum sains diserang oleh anarki seperti ketika Penjara Bastille diserang oleh masyarakat Perancis pada zaman Revolusi Perancis.

Sains melalui saintisme telah begitu angkuh dan otoriter sebagai pemegang kebenaran mutlak di era modern. Sains dengan keotoriterannya telah mengobrak-abrik segala sesuatuyang mereka anggap tidak sejalan dengan metodologi dan segera mencap mereka sebagai sesuatu yang tidak berarti (meaningless).

Perkembangan sains belakangan ini memang telah memaksa sins untuk lebih rendah hati dan berintrospeksi. Metodologi sains dalam mengungkap kebenaran "objektif" telah tergugat. Sementara perkembangan internal sains sendiri; teorema kuantum, kosmologi, geometri noneuclid, fraktal dll. seharusnya membuat sains berkontemplasi secara reflektif. Sains sekarang adalah pesakitan, tertuduh yang masih bisa diampuni.

Satu minggu yang lalu (19 Desember 2006), William Grassie dari Metanexus Institute (Philadelphia) memberikan ceramah umum mengenai "pembelajaran sejarah alam menuju kurikulum sains yang terintegrasi".

Pada awal ceramahnya William mengulas keadaan riil pemuda Amerika Serikat (AS) hasil survai Studi Internasional ke-3 Sains dan Matematika tahun 1995. William menjelaskan bahwa kemampuan anak-anak tingkat 12 AS berada pada kasta terbawah dari 21 negara yang disurvai. Hasil ini sangat mengejutkan untuk sebuah negara yang maju yang berbasis teknologi terhebat.

William melanjutkan, bahwa hanya 12% penduduk amerika yang percaya bahwa manusia berevolusi dari nenek moyangnya terdahulu. Hasil survai ini memposisikan AS di bawah Iran dalam tingkat kepercayaan masyarakat rehadap teori evolusi. AS hanya setingkat di atas Turki. SAya sendiri tidak membayangkan bagaimana bisa negara sekuler semacam AS memiliki tingkat kepercayaan yang kecil terhadap teori evolusi. Bukankah ini adalah sebuah pertanyaan besar? Apakah ini kebobrokan kurikulum atau resistensi dari masyarakat?

Di AS keadaan ini ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan kurikulum pendidikan. William menegaskan bahwa pentingnya pengenalan "History of Nature" semenjak usia dini; menjelaskan Ledakan Besar dan teori Evolusi. Salah satu sasarannya adalah mencoba untuk mencucukkan sains ke dalam kalangan religius.

Dengan analogi yang sama, William menuntut kurikulum di Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Kurikulum di Indonesia haruslah integral dari agama dan sains. Saya jadi berpikir, apakah William Gracie adalah seorang yang buta?

Perlu diketahui bahwa selama ceramahnya William, tampaknya ahli biologi, banyak menitik beratkan penjelasan mengenai evolusi manusia. Teori evolusi merupakan teori perkembangan manusia yang dijelaskan secara biologis disusun dari temuan-temuan fosil. Teori Evolusi dikembangkan oleh Darwin pada abad ke-18.

Kenyataannya teori Evolusi Darwin masih berada dalam kontroversi. Teori ini berkibar mulai dari pandangan bahwa manusia berevolusi menuju kesempurnaan, hingga ada yang menyebutkan bahwa manusia berasal dari Kera.

Lantas karena belum ada kejelasan, bagaimana teori kontroversial ini bisa masuk ke dalam kurikulum? bagaimana menjelaskannya kepada anak-anak didik?

Sayang sekali, William tidak memberikan ide segar mengenai pola dialog yang seharusnya dilakukan oleh sains terhadap agama dan sebaliknya. Padahal William mengatakan bahwa misteri di dunia ini hanya bsia ditopang oleh sains dan agama.

Keadaan di Indonesia dan Di AS berbeda. Di AS kurikulum yang berlaku adalah kurikulum sekuler. Agama tidak boleh ada dalam pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Dngan kondisi ini William mengatakan bahwa agama akan masuk ke dalam kurikulum AS.
Di Indonesia kurikulum agama dimasuki oleh pengajaran sains. Walaupun belum sempurna namun interaksi ini sudah ada semenjak lama.

Semasa pendidikan dasar saya diajarkan terori penciptaan manusia dalam andangan angama. Pada pendidikan menengah saya belaar bahwa manusia berevolusi dari nenek motangnya yaitu Kera (dengan reka gambar yang seolah-olah realistis). Dua hal ini bertetangan. Agama menduduki tingkatan yang pasti, mendikte. Sementara sains menduduki posisi yang dinamis, tidak pasti, dan masih bisa difalsifikasi.

Jika manusia berasal dari material bintang yaitu sup purba yang kemudia berubah menjadi makhluk uniseluler, kemudian menjadi makhluk multiseluler, dan terus berevolusi menjadi Kera yang tersu berevolusi menjadi manusia , maka manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran (consciusness) di tengah-tengah semesta yang berkembang tanpa tujuan. Dengan begini maka manusia merasa berhak untuk mengeksploitasi alam sampai pada akhirnya nanti peradaban manusia punah dari muka bumi.

Pengetahuan semaca paragraf di atas bagi saya bersifat dekaden, absurd, terlalu naif, dan tidak masuk akal.

Apakah sains akan bersahabat (kembali) dengan agama, seni dan filsafat? ataukah sains sekarang telah berubah menjadi dogma dan mengalami perubahan eksistensi dari logos menjadi mitos? Sejarah akan mencatat semuanya.

Comments

ismansyah said…
umm...
Anton William said…
hehehehehe... garutlo? kaga ikutan acaranya sih. orang kena diare malah dikasih bodrek. ;)
Anonymous said…
YUP!!! pastilah itu... agama tidak dapat dipisahkan dari sains. Karena itu pembelajaran di sekolah harus mengitegrasikan agama (iman) dalam mata pelajaran sains (content dan teaching). Sains merupakan alat untuk menyatakan keajaiban ciptaan Tuhan.

Popular Posts