Tak Sanggup Bersaing

Kenapa metropolitan seperti Jakarta terlalu padat kendaraan pribadi?
Karena kendaraan umum dibuat tak bisa berkompetisi dengan kendaraan pribadi.

Matahari bersinar terik di Terminal Senen, Minggu, 9 Desember 2012. Ransel berisi pakaian, laptop, kamera, dan buku melekat dipunggungku yang lepek oleh keringat. Setelah bertanya kepada penjual minuman, saya bisa melihat atap Kopaja P20 AC yang terselip di antara bus tua ukuran sedang.

Di dalam bus saya merebahkan di kursi belakang jok sopir. Udara dingin terasa sejuj di badan yang bersimbah peluh. Tak sampai 5 menit, bus mulai kedatangan tiga pengamen. Sopir sempat nenolak, namun tak ada daya.

Drum, sepasang gitar, dan vokal saling bersahutab di dalam bus menyambut para penumpang yabg berdatangan. Dendang ST12 terdengar gurih di kuping tapi penumpang harus bergesekan badan dengan pengamen sebelum duduk di kursi.

Bus yabg terisi penuh bergerak perlahan ketika pengamen menadahkan kemasan permen Kiss kepada penumpang. Lagu berakhir namun tidak dengan ketidaknyamanan.

Di Lapangan Banteng, bus berhenti karena distop calon penumpang. Walakadah, tujuh penumpang masuk sekaligus, diarak seperti sapi berjejer di gang sempit di dalam bus. Pantat penumpang yang tak bisa duduk terpaksa berdesakan dengan penumpang di atas kursi. Padahal tak sampai enam bulan laku, ketika pilkada Jakarta hampir mendekat, Gubernur Foke meresmikan bus nyaman. Janjibya, penumpang bus dibatasi dan taj akan jalan jika ada penumpang berdiri. Ini semua demi kenyamanan.

Namun janji itu hanya buaian belaka. Kopaja P20 AC tak beda jauh dengan bus sedang lainnya. Tidak asa kenyamanan. Kalau sudah begini, siapa yang mau melirik transportasi publik? Kenyamanan hanya bisa didapat dengan beli mobil sendiri.

Honda, Toyota, Suzuki, Mazda, Mitsubishi, Ford, dan Nissan, semua bertepuk tangan sambil mengedipkan mata ke pejabat di Balai Kota Jakarta. Hore!